Rabu, 16 Januari 2013

Metode Dakwah dalam Al-Qur’an


Dalam al-Qur’an surah Al-Nahl (16): 125 termuat beberapa metode dakwah sebagaimana dapat dibaca dalam firman Allah swt:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari JalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Tiga metode dakwah yang terkandung dalam ayat ini, yaitu : metode al-hikmah, metode al-maw’izhah dan metode mujadalah.
Metode al-hikmah
Kata al-hikmah terulang sebanyak 210 kali dalam al-Qur’an. Secara etimologis, kata ini berarti kebijaksanaan, bagusnya pendapat atau pikiran, ilmu, pengetahuan, filsafat, kenabian, keadilan, pepatah dan juga berarti al-Qur’an al-Karim. Hikmah juga diartikan al-Ilah, seperti dalam kalimat hikmah al-tasyri’ atau ma hikmah zalika dan diartikan juga al-kalam atau ungkapan singkat yang padat isinya.
Makna al-hikmah yang tersebar dalam al-Qur’an di 20 tempat tersebut, secara ringkas, mengandung tiga pengertian. Pertama, al-hikmah dalam arti “penelitian terhadap segala sesuatu secara cermat dan mendalam dengan menggunakan akal dan penalaran”. Kedua, al-hikmah yang bermakna “memahami rahasia-rahasia hukum dan maksud-maksudnya”. Ketiga, al-hikmah yang berarti “kenabian atau nubuwwah”.
Adapun kata al-hikmah dalam ayat ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ menurut al-Maraghi (w. 1945), berarti perkataan yang jelas disertai dalil atau argumen yang dapat memperjelas kebenaran dan menghilangkan keraguan. Sedang Muhammad Abduh (w. 1905) mengartikan al-hikmah sebagai ilmu yang sahih yang mampu membangkitkan kemauan untuk melakukan suatu perbuatan yang bermanfaat dan kemampuan mengetahui rahasia dan faedah setiap sesuatu. Dalam Tafsir Departemen Agama disebutkan bahwa al-hikmah ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dan yang batil.
Dalam Tafsir al-Mishbah, Quraish Shihab menjelaskan hikmah antara lain berarti yang paling utama dari segala sesuatu, baik pengetahuan maupun perbuatan. Dia adalah pengetahuan atau tindakan yang bebas dari kesalahan atau kekeliruan. Hikmah juga berarti sebagai sesuatu yang bila digunakan/diperhatikan akan mendatangkan kemashlahatan dan kemudahan yang besar atau yang lebih besar, serta menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang besar atau yang lebih besar. Hanya saja, menurut Quraish, hikmah sebagai metode dakwah lebih sesuai untuk cendekiawan yang berpengetahuan tinggi.
Metode al-Maw’izah al-hasanah
Metode dakwah kedua yang terkandung dalam QS. Al-Nahl (16) ayat 125 adalah metode al-maw’izat al-hasanah. Maw’izat dari kata وعظ yang berarti nasehat. Juga berarti menasehati dan mengingatkan akibat suatu perbuatan, menyuruh untuk mentaati dan memberi wasiat agar taat. Kata maw’izat disebut dalam al-Qur’an sebanyak 9 kali. Kata ini berarti nasehat yang memiliki ciri khusus, karena mengandung al-haq (kebenaran), dan keterpaduan antara akidah dan akhlaq serta mengandung nilai-nilai keuniversalan. Kata al-hasanah lawan dari sayyi’ah, maka dapat dipahami bahwa maw’izah dapat berupa kebaikan dan dapat juga berupa keburukan.
Metode dakwah berbentuk nasehat ini ditemukan dalam al-Qur’an dengan memakai kalimat-kalimat yang menyentuh hati untuk mengarahkan manusia kepada ide-ide yang dikehendakinya, seperti nasehat Luqman al-Hakim kepada anaknya. Tetapi, nasehat al-Qur’an itu menurut Quraish Shihab, tidak banyak manfaatnya jika tidak dibarengi dengan teladan dari penasehat itu sendiri. Dalam hal ini, Rasulullah saw. yang patut dijadikan panutan, karena pada diri beliau telah terkumpul segala macam keistimewaan sehingga orang-orang yang mendengar ajarannya dan sekaligus melihat penjelmaan ajaran itu pada diri beliau sehingga akhirnya terdorong untuk meyakini ajaran itu dan mencontoh pelaksanaannya.
Metode al-Mujàdalah
Al-Mujàdalah terambil dari kata جدل, yang bermakna diskusi atau perdebatan. Kata jadal (diskusi) terulang sebanyak 29 kali dengan berbagai bentuknya di beberapa tempat dalam al-Qur’an.
Dari kata-kata itu, yang menunjuk kepada arti diskusi mempunyai tiga obyek, yaitu: membantah karena: (1) menyembunyikan kebenaran, (2) mempunyai ilmu atau ahli kitab, (3) kepentingan pribadi di dunia. Dari berbagai macam obyek dakwah dalam berdiskusi tersebut, akan dititikberatkan pada obyek yang mempunyai ilmu. Berdiskusi dengan obyek semacam ini membutuhkan pemikiran yang tinggi dan wawasan keilmuan yang cukup. Sebab, al-Qur’an menyuruh manusia dengan istilah ahsan (dengan cara yang terbaik). Jidal disampaikan dengan ahsan (yang terbaik) menandakan jidal mempunyai tiga macam bentuk, ada yang baik, yang terbaik dan yang buruk.
Al-Maraghi mengartikan kalimat ‘wa jadilhum bi allatiy hiya ahsan’ dengan berdialog dan berdiskusi agar mereka patuh dan tunduk. Sedangkan Sayyid Qutb mengartikannya dengan: ‘berdialog dan berdiskusi bukan untuk mencari kemenangan, akan tetapi agar patuh dan tunduk terhadap agama untuk mencapai kebenaran.
Diskusi atau perdebatan tidak boleh dilakukan dengan sikap emosional. Sebab, hal itu tidak akan mendekatkan orang kepada Islam, bahkan bisa terjadi sebaliknya. Karena itu, dalam QS. al-Ankabut (29): 46 dijelaskan tentang cara menghadapi orang yang tidak mau menerima kebenaran. Di dalam ayat ini, diberikan tuntunan kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan pengikutnya, bahwa jika terpaksa bertukar pikiran (berdebat atau berdiskusi) dengan Ahl al-Kitab, adakanlah dengan cara yang paling baik, yaitu dengan pertimbangan akal yang murni. Jika terjadi perbedaan pendapat, seorang da’i tidak boleh emosional.
Sayyid Qutb memberikan penjelasan tentang metode dakwah ini; dakwah dengan al-mujàdalah bi allatiy hiya ahsan ialah dakwah yang tidak mengandung unsur pertikaian, kelicikan dan kejelekan, sehingga mendatangkan ketenangan dan kelegaan bagi juru dakwah.

sekarang kita telah tahu seperti apa metode penyampaian berdakwah dalam Al-Qur'an,, pemakaian metode apa saja sich bisa2 aja, asal tetap dalam syari'at Islam...

SALAM DAKWAH... :-)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar